17 Sep 2024
Melimpahnya inovasi daerah menunjukkan pendekatan implementasi otoda berbasis insentif lebih efektif mendorong kemajuan daerah. Daerah tak dimarahi melulu. Berikut ulasan Wawan Sobari, dosen FISIP Universitas Brawijaya sekaligus peneliti JPIP. Soekarwo, gubernur Jawa Timur, berdiskusi serius dengan delapan orang tim panel independen Sinovik 2016 Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kementerian PAN-RB) pada Senin sore (29/2). Dalam kapasitasnya sebagai inovator, gubernur yang biasa disapa Pakde Karwo itu harus melayani pertanyaan kritis tim panel independen atas inisiatif pembangunan ekonomi Jawa Timur: ’’Jatimnomics’’. Tim yang di ketuai Prof J.B. Kristiadi itu menguji detail terobosan pembangunan Jatim itu. Seminggu kemudian atau Senin lalu (7/3), gantian Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan dan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo yang melakukan presentasi serupa atas inovasi yang mereka kembangkan. Hingga Kamis (10/3), setidaknya 50 inovator daerah, kementerian, dan lembaga telah menyelesaikan sesi presentasi dan wawancara inovasi. Mereka bagian dari 99 inovator terpilih dari 2.476 proposal inovasi yang diajukan secara online dalam Sistem Informasi Inovasi Pelayanan Publik (Sinovik) 2016. Ke-99 inovator tersebut akan dipilih 33 yang paling top. Pemuncaknya, dipilih sembilan yang dinilai paling hebat. Hingga tahun ketiga, gaung kompetisi inovasi antarinstitusi pemerintahan pusat dan daerah itu memang semakin kuat. Indikasinya tampak dari peningkatan jumlah inovasi yang diajukan dalam sinovik. Saat pertama sinovik diluncurkan pada 2014, proposal inovasi yang dikirimkan mencapai 555. Pada tahun ketiga (2016), jumlah yang dikompetisikan naik hampir lima kali lipat hingga mencapai 2.476 inovasi. Dengan kata lain, untuk menembus Top 99 inovasi, setiap inovasi mesti menyisihkan lima inovasi pada 2014 dan meningkat hingga menyisihkan 25 kompetitor pada 2016. Menariknya, dari 2.476 inovasi yang dikompetisikan pada tahun ini, 76,86 persen berasal dari daerah (provinsi dan kabupaten/kota). Inovasi kementerian, lembaga (K/L), dan BUMN hanya 573 inovasi (23,14 persen). Angka tersebut menunjukan dominasi daerah dalam memproduksi inovasi pelayanan publik, baik pelayanan yang langsung bersentuhan dengan masyarakat maupun tidak langsung. Bila dikomparasikan dengan jumlah daerah, rasio inovasi daerah mencapai 6,31 per daerah. Sementara itu, rasio inovasi institusi pusat sedikit lebih rendah, yakni 5,94. Bila dilihat dari sudut pandang kesempatan berinovasi, dominasi inovasi daerah tidak terlepas dari implementasi otonomi daerah (otoda). Otoda telah memberikan ruang kewenangan kepada daerah untuk berkreasi dalam pelayanan publik. Daerah memiliki keleluasaan untuk menerjemahkan tuntutan dan permintaan warga dan masalah yang dihadapi dalam pelayanan publik ke dalam solusi dan terobosan cerdas. Tanpa otoda, daerah hanya berusaha memenuhi tuntutan keseragaman dan kepatuhan dari pusat. Meskipun agak terlambat, tidak berlebihan apabila mekanisme kompetisi yang didorong oleh Kementerian PAN-RB itu menunjukkan pendekatan relevan dalam mendorong kemajuan daerah. Daerah diberi penguatan dan dorongan untuk maju ketimbang dibatasi dan diinstruksi. Kesempatan berinovasi sejalan dengan fitrah otoda. Bila merujuk kepada pengalaman kompetisi inovasi di Amerika Serikat yang digagas sejak 1986 oleh Kennedy School of Government, ada kemiripan dengan pengalaman di Indonesia. Menurut Sanford Borins (2008), terdapat tiga premis pentingnya inovasi dalam pemerintahan. Pertama, inovasi telah berhasil meningkatkan kinerja pemerintah dan mendapat apresiasi publik. Berikutnya, melalui inovasi, para birokrat bisa menjalankan fungsi pelayanan masyarakat ala swasta. Para birokrat memiliki ruang untuk berupaya memenuhi ekspektasi dan kebutuhan warga dengan berinovasi. Terakhir, inovasi memberikan kesempatan yang sama kepada seluruh tingkatan pemerintahan untuk berkreasi, pusat hingga daerah. Bahkan, mulai pemimpin terpilih hingga para ujung tombak pelayanan publik yang bersentuhan langsung dengan masyarakat (frontline worker). Statistik Sinovik 2016 (lihat grafis) menunjukkan bahwa premis-premis tersebut relevan dalam konteks tanah air. Peningkatan jumlah inovasi yang dikompetisikan dalam sinovik selama tiga tahun terakhir (2014–2016) mengindikasikan perbaikan kinerja pemerintah dan daerah. Melonjaknya jumlah inovasi telah meningkatkan rasio inovasi atau perbandingan jumlah inovasi dengan jumlah kementerian/lembaga (K/L) dan daerah. Merujuk proporsi kategori inovasi yang diajukan, sebagian besar didominasi kategori inovasi perbaikan pelayanan kepada masyarakat (62,52 persen). Angka itu menunjukkan bahwa para birokrat terus berkreasi. Bagi birokrat di daerah, tanpa otoda dan sokongan kepala daerah, ruang berkreasi tidak akan muncul secara masif. Pun rerata rasio inovasi pemerintah daerah dan provinsi (6,31) yang sedikit lebih tinggi daripada rerata rasio K/L dan BUMN menunjukkan kesetaraan kesempatan berinovasi. Otoda memberikan peluang kepada institusi-institusi pemerintah daerah dan provinsi terus berkreasi. Proses presentasi, wawancara, dan verifikasi dokumen, yang saya terlibat di dalamnya, menunjukkan peningkatan kapasitas daerah dalam menyiasati masalah. Inovasi menjadi solusi unik dengan menawarkan pendekatan baru dalam menyelesaikan problem di daerah. Misalnya, persoalan kesehatan reproduksi di kalangan remaja direspons secara inovatif oleh Pemda Bondowoso dan Gunungkidul. Kesulitan nelayan mengurus legalitas kapal diselesaikan melalui pelayanan jemput bola dokumen kapal oleh Pemprov Jateng dan Jatim. Dalam bidang kesehatan, keluhan terhadap pelayanan direspons secara kreatif di Kabupaten Probolinggo, Boyolali, Tangerang, dan Kota Makassar. Pelayanan kesehatan bergerak (mobile) lintas kabupaten/kota untuk memberikan pelayanan jemput bola dilakukan Pemprov Lampung. Sementara itu, Kabupaten Batang Hari secara aktif memberikan pelayanan bergerak komunitas adat terpencil suku Anak Dalam. Jelas aneh bila otoda hanya dianggap biang masalah oleh Jakarta. Sumber: Jawa Pos, 11 Maret 2016